![]() |
Khutbah di masjid |
Bagi seorang mukmin, bersyukur tidak hanya pada saat mendapatkan rizki tetapi kokohnya iman juga harus disyukuri. Sebab mempertahankan iman dizaman seperti ini, sungguh membutuhkan keteguhan yang lebih agar senantiasa bisa menjaganya dengan baik. Maka bersyukur atas adanya iman dalam diri menjadi wajib untuk dilakukan , agar Allah menjaga kita hingga akhir kehidupan didunia.
Pernahkah kita –
atau, orang-orang di sekitar kita –
berangan-angan, andai saja bisa terlahir di zaman Rasulullah, lalu hidup dan
berjuang bersama beliau? Kita melihat beliau shalat, dan menirunya sepersis mungkin. Beliau
berdoa, dan kita mengaminkannya. Bila kita berselisih pendapat, beliau hadir
dan wahyu turun menyelesaikannya. Saat musuh datang, beliau membariskan kita
dan memimpin pertempuran. Lalu, para malaikat turun, dan kemenangan teraih. Sebagian
kita syahid dan beliau mempersaksikan kita telah masuk surga atau dijemput
bidadari, lalu sebagian yang lain pulang dengan membawa ghanimah. Bukankah
semua ini terasa begitu menggairahkan dan penuh semangat?
Sepertinya
begitu. Tetapi, bila angan-angan itu kita kemukakan kepada salah seorang
Sahabat Rasulullah yang sesungguhnya, belum tentu mereka akan senang. Salah
satunya adalah al-Miqdad bin al-Aswad, si Penunggang Kuda (faaris) andalan
Rasulullah.
Jubair bin
Nufair bercerita, bahwa pada suatu hari ada seseorang yang berkata kepada al-Miqdad,
“Sungguh beruntung kedua mata Anda ini, yang telah melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Demi Allah, sungguh kami berharap andai bisa melihat apa
yang telah Anda lihat dan menyaksikan apa yang telah Anda saksikan.” Namun, beliau
terlihat tidak senang. Jubair berkata, “Saya merasa heran. Bukankah orang itu hanya
mengatakan sesuatu yang baik?”
Lalu,
al-Miqdad menghadap orang itu dan berkata, “Apa sebenarnya yang mendorong
seseorang untuk mengangankan suatu momen yang telah Allah jauhkan darinya,
padahal ia tidak pernah tahu – andaikan ia benar-benar menyaksikannya –
bagaimana sikapnya di saat itu? Demi Allah, sungguh telah banyak orang yang
berjumpa langsung dengan Rasulullah, namun Allah menjungkalkan mereka ke dalam
neraka Jahannam karena mereka tidak menjawab seruan beliau dan tidak pula
membenarkannya. Mengapa kalian tidak memuji Allah, sebab Dia telah membuat
kalian terlahir dalam keadaan tidak mengenal selain Tuhan kalian dan
membenarkan apa yang diajarkan oleh Nabi kalian? Sungguh, Dia telah mencukupkan
malapetaka besar itu pada generasi selain kalian. Demi Allah, sungguh Allah
mengutus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu kondisi yang
paling berat bagi kebangkitan seorang Nabi, yaitu pada zaman kekosongan dari
kenabian (fatrah) dan kejahiliyahan, dimana saat itu manusia tidak
melihat ada agama yang lebih baik dibanding penyembahan berhala. Lalu, beliau
datang membawa furqan yang memilah antara hak dan batil, serta
memisahkan antara seorang ayah dengan anaknya; sampai seseorang bisa melihat
(dengan jelas) bahwa ayah, anak atau saudaranya adalah kafir. Allah telah
membuka segel hatinya sehingga ia beriman, dan ia tahu persis bahwa jika ia mati
(dalam keadaan seperti mereka) pastilah ia masuk neraka. Maka, ia tidak akan
senang sebab ia tahu bahwa orang-orang yang dicintainya itu justru masuk
neraka. Inilah makna firman Allah, “Orang-orang yang berdoa: ‘Wahai Tuhan
kami, anugerahilah kami istri-istri dan anak-anak yang menyenangkan pandangan
mata kami.” (Qs. al-Furqan: 74). [Hadits riwayat Ahmad. Isnad-nya shahih].
Jadi,
angan-angan seperti itu ternyata tidak layak dan belum tentu baik. Mari kita
renungkan faktanya. Dalam peristiwa Hijrah, kaum muslimin hanya berjumlah
ratusan dari ribuan penduduk Makkah. Di Perang Badar, 313 kaum muslimin harus
berhadapan dengan kaum kafir yang tiga kali lipat jumlahnya. Peristiwa serupa kembali
terulang di medan Uhud, Khandaq, Tabuk, dll. Lalu, ada ratusan ribu manusia
dari Syam dan Mesir yang berbaris menghadang Islam, dikomandoi Kaisar
Byzantium. Kishra Persia juga tidak tinggal diam dan mengirim pembunuh bayarannya
ke Madinah, untuk menghabisi Rasulullah. Di seantero Semenanjung Arabia pun tersebar
banyak kabilah yang mayoritas tidak memihak Islam. Belum lagi makar kaum Yahudi
dan munafik di Madinah, Tayma’ atau Khaibar.
Bila kita
benar-benar terlahir dan hidup di zaman itu, berapa persen peluang kita untuk
berpihak kepada Rasulullah? Atau sebaliknya, kita justru menjadi orang lemah
yang tidak bisa berbuat apa-apa selain mengekor keyakinan dan kecenderungan mayoritas
orang di sekitar kita? Lihatlah, jutaan manusia di zaman itu justru berdiri di
barisan kaum kafir, entah pasif maupun aktif, dan banyak diantaranya
dijungkalkan oleh Allah ke jurang Jahannam. Rasa-rasanya kita pun akan sama
saja dengan mereka. Astaghfirullah!
Maka,
daripada mengharapkan sesuatu yang belum tentu baik, alangkah tepat jika kita
mensyukuri iman karunia Allah ini. Bukankah ia sebuah keberuntungan dan berkah?
Bukankah Allah telah menghadiahi kita keimanan tanpa harus bersimbah-darah
menghadapi seluruh dunia seperti para Sahabat? Tidakkah cukup bagi kita pujian
Rasulullah kepada orang-orang yang beriman kepada beliau, meskipun tidak sempat
berjumpa secara langsung? Diceritakan oleh Abu Jumu’ah – seorang Sahabat –
bahwa pada suatu hari para Sahabat makan bersama Rasulullah, dan diantara
mereka terdapat Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah
seseorang yang lebih baik dari kami? Kami masuk Islam dan berjihad bersama
Anda.” Beliau menjawab, “Ya, ada. Mereka adalah kaum yang hidup sesudah
kalian, yang beriman kepadaku walaupun tidak melihatku.” (Riwayat Darimi,
Ahmad, dan al-Hakim. Sanad-nya shahih). Wallahu a’lam.
salam kenal pak
ReplyDeletesalam kenal juga pak widodo, terima kasih atas kunjugannya
DeleteBersyukurlah kita sebagai umat islam jika masih bisa melaksanakan ibadah dengan kusyhu dan ikhlas. Karena era sekarang banyak kehidupan beragama hanya sebatas Kwantitas saja dari pada Qualitasnya.😊😊🙏🙏
ReplyDeletebetul pak terkadang umat salah kaprah mengenai ini
DeleteAlhamdulillah memang kita masih diberikan nikmat iman Islam. Karena jika hidup di zaman Rasulullah Saw belum tentu juga berpihak kepadanya
ReplyDeleteartinya hidup sekarang tapi beriman, inilah yang disebut Rasulullah dalam haditsnya. Mereka adalah saudaraku mereka yang percaya padaku meskipun mereka tidak bertemu denganku
DeleteBetul sekali kang, tetap beriman kepada Rasulullah biarpun belum pernah bertemu.
DeleteSalam kenal ya Pak... salam selamat hari raya..
ReplyDeleteya mas salam kenal, mohon maaf lahir dan bathin
Deletedengan bisa dikasih sehat aja, kita harus bersyukur. tulisan yang baik pak.
ReplyDeleteterima kasih apresiasinya
DeleteMenarik memang mengikuti khotbah yang isinya kisah-kisah di zaman nabi. Saat ini, saya sedang liputan di tanah kekuasaan kekaisaran Byzantium. Dan memang, pada masa kejayaannya, Islam memang peranan penting di seluruh wilayah. Jejaknya masih bisa dilihat sampai sekarang.
ReplyDeleteBagi saya, bisa menjejak kepingan kisah dalam kitab suci Alquran itu juga bagian dari bentuk kesyukuran akan nikmat iman.
masyaAllah sekali-kali nulis bang dan saya publish disini
DeleteHehehe saya senang aja sih. Tapi, mengelola blog pribadi saja masih sering keteteran. Karena saya juga bekerja offline. Jadi nulisnya disambi saja. Saat ini sedang nulis tentang kisah Ashabul Kahfi. Ada di blog tuh. Siapa tahu tertarik hehehe 😁🙏
Deletedibandingkan zaman dulu, kita zaman sekarang tu udah enak bgt ya bisa ibadah dg tenang. semoga kita selalu dalam nikmat iman dan islam..
ReplyDelete-traveler paruh waktu
Betul mas
DeleteDi masa pandemi ini baru terasa betapa kita banyak melupakan nikmatnya beribadah yang selama ini kita abaikan, yaitu beribadah di masjid.
ReplyDeleteSekarang dilarang ke masjid baru deh kerasa.
Nggak kebayang kia hidup di zaman dulu yang sulit bisa beribadah dengan tenang :)
Betul, karena itu bagi seorang mukmin bersyukur pada semua keadaan adalah sifat yang harus dimiliki
ReplyDeleteKunjungan perdana ke blog dakwah ini. Jujur, saya saja belum berani bikin artikel khusus tentang dakwah. Paling hanya kutipan ayat Alqur'an dan Hadits sahih di beberapa artikel saya. Nikmat syukur tertinggi adalah nikmat iman dan Islam. Semoga kita diberikan nikmat tersebut. Aamiin. Oh ya, saya follow blog ini. Thx
ReplyDeleteTerima kasih atas kunjungannya
DeleteKadang masih lupa bersyukur, padahal apa yg Allah beri udah lebih dari cukup. Tapi kadang kalau lagi banyak masalah, malah seringny 'mencucu' kata orang jawa yg artinya manyun sambil marah2..
ReplyDeletebersyukur segala keadaan beristighfar untuk segala kesalahan
DeleteSetuju dengan kalimat ini "Sebab mempertahankan iman dizaman seperti ini, sungguh membutuhkan keteguhan yang lebih agar senantiasa bisa menjaganya dengan baik."
ReplyDeleteDan ya, saya juga pernah berpikiran seperti ingin hidup di jaman Rasul. Tapi baru kepikiran ini, belum tentu kalo kita hidup jaman itu, kita akan jadi pegikut Rasul.
betul, meski zaman terbaik adalah semasa Rasulullah hidup, namun percuma jika saat ini tidak beriman
DeleteMemag ga mudah menegakkan keimanan kita. Apalagi gaya hidup dan tingkah laku di dunia ini begitu rapuh rasanya. Untuk bisa istiqomah aja masih sulit hiks :( Baca tulisan ini membuatku berpikir..berpikir dan menerawang jauh. TFS ya mas :)
ReplyDeletealangkah bertuahnya kita dilahirkan dalam iman dan islam...tapi sayangnya ramai tak menghargai nikmat terbesar ini...
ReplyDelete